Jumat malam 8 Juli 2005 Bapak datang dari Jogja membawa oleh2 wayang kulit pesanan Uka. Ada 4 tokoh yang dibawa Bapak: Bima, Gatotkaca, Rahwana, dan Hanoman. Sebelumnya Uka sudah punya 2 tokoh: Ontoseno dan Semar, sayang yang Ontoseno gagang utamanya sudah patah jadi nggak bisa dimainin lagi. Sebelumnya Uka juga pernah di-oleh2i VCD wayang orang dengan lakon Ramayana oleh Bapak.
Uka memang senang dengan wayang, baik wayang orang maupun (terutama) wayang kulit. Kalau pas nggak ngantuk, dia betah nonton wayang kulit di TVRI yang biasanya ditayangkan Sabtu malam dengan ditemani Bapak. Pernah juga Uka nonton live ketika beberapa waktu lalu tetangga kami
Bapak Tutug Murdawa mantu dan menggelar pertunjukan wayang kulit di depan rumahnya. Karena waktu itu Bapak nggak ada di Cilegon dan Ibu harus ngeloni Ene, maka yang nemenin
Yuk. Sebenarnya Ibu agak keberatan karena Uka baru saja sembuh dari sakit—panas karena radang tenggorokan—tapi Uka merajuk jadi akhirnya Ibu ijinkan dengan catatan harus pakai jaket dan segera pulang jika sudah ngantuk atau badan terasa nggak enak. Untunglah kantuk Uka—satu2nya yang menjadi kendala nonton wayang :)—segera datang, jadi Uka pulang beberapa saat sebelum jam 12 malam setelah sebelumnya berangkat jam 10 malam! Selama Uka nonton wayang itu, Ibu bolak balik lihat jam dan menengok keluar dari jendela ruang tamu mengharap Uka pulang, hehehe...
How come Uka jadi suka sama wayang yang sering keliru disebutnya 'layang'? Penyebabnya sudah pasti Bapak! :D Seperti kata pepatah, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Karena Bapak suka wayang, nggak heran kalau Uka jadi senang wayang juga. Ene pun tampaknya mulai tertarik dengan wayang, paling tidak dia sudah tau bagaimana cara memainkan wayang kulit :) Tapi Bapak tidak pernah memaksakan anak2nya untuk gemar wayang, jadi minat itu muncul sendiri dari hal2 kecil seperti oleh2, terus nonton wayang di TV yang semula nggak sengaja. Dari situ Bapak cerita tentang nama2 tokoh dalam jagad pewayangan plus rangkaian kisahnya, dan selanjutnya mengalir begitu saja.
Bapak menggemari wayang sejak kecil. Ketika Bapak SD, gara2 wayang pernah sampai memecahkan kaca jendela rumah!!! Ceritanya, sore itu Bapak ngantuk padahal jam 12 malam ada pertunjukan wayang kulit, jadi Bapak mau tidur dulu dan pesan sama
Mbah Hardjo putri supaya dibangunkan saat pertunjukan dimulai. Rupanya Mbah Hardjo putri tidak membangunkan Bapak, mungkin karena lupa atau mungkin karena berpikiran Bapak tidurnya pulas jadi kasihan kalau dibangunin. Akibatnya keesokan harinya Bapak marah dan terjadilah 'tragedi' itu hehe... Jadi kebayang kan seberapa besar passion Bapak sama yang namanya wayang. Kalau dirunut dari sejarah keluarga sih hal ini nggak mengherankan karena kakeknya Bapak dari pihak
Mbah Hardjo kakung adalah dalang dan dulu punya satu set lengkap wayang kulit. Lagi2, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya :)
Kalau Ibu sih nggak terlalu gemar wayang kulit, kalau wayang orang sih masih OK, itu pun harus ada orang yang mendampingi sebagai guide yang menjelaskan jalan ceritanya dan tokoh2nya :) Dulu, peran ini dipegang oleh
Yang Gik (bapaknya Ibu), tapi semenjak Yang Gik tiada tahun 1992, nggak ada lagi yang jadi guide dan otomatis Ibu nggak pernah lagi bersinggungan dengan wayang. Hanya sekali—tahun 1996—Ibu sempat kesengsem dengan pertunjukan wayang kulit, yaitu ketika dalangnya itu lo... yang nongol di iklan obat Oskadon 'pancen o ye'—tuh kan.. nama dalangnya aja Ibu nggak hapal! Hahaha... Ceritanya waktu itu Ibu malam2 nggak bisa tidur dan iseng2 nonton wayang. Eh.. kok wayangnya agak lain dari biasanya karena ada musik campursari, terus gaya ndalangnya ngepop, pakai ngobrol dan gojegan dengan para sinden. Apalagi pas adegan goro2—adegan para punakawan di bagian tengah cerita—wah.. Ibu ter-pingkal2 dibuatnya.
Updated 19/08/2005:
Setelah nanya ke Bapak, ternyata nama dalang yang Ibu maksud di atas adalah Ki Mantep Sudarsono. Maaf ya Ki, atas ketidaktahuan hamba :)
Belakangan—setelah kenal Bapak—baru Ibu ngeh kalau dalang tersebut memang membawa stream baru dalam dunia pewayangan dan sempat menuai pro dan kontra terhadap new wave-nya tersebut. Tapi menurut Ibu, langkah dalang tersebut perlu dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara generasi muda sekarang yang lebih akrab dengan budaya pop dengan kekayaan tradisi warisan leluhur. Buat Ibu, budaya tradisional—dalam hal ini wayang—perlu dilestarikan, namun harus dicari cara yang tepat supaya proses pewarisan ini tidak terasa dipaksakan di kalangan generasi muda. Kalau sudah akrab, nah.. baru diperkenalkan dengan bentuk aslinya. Begitu saudara2... Hahaha... kayak pidato 17-an aja!
O ya, salah satu hal—dari sekian buanyaak hal :)—yang membuat Ibu terkesan sama Bapak di saat masa pacaran adalah pengetahuan Bapak tentang wayang. Waktu itu nggak kebayang bahwa ada orang seumuran Ibu yang gemar wayang dan tahu detil sampai ke filosofi wayang. Haree geneee ngomongin wayang?! Hahaha.... Dan karena Ibu nggak ingin dibilang 'nggak nyambung' kalau diajak ngobrol soal wayang sama Bapak, waktu itu Ibu bela2in beli buku2 populer tentang wayang! Hahaha... ketahuan ya kalau Ibu dulu jaim, alias jaga image, di depan Bapak! Setelah membaca buku2 itu, Ibu baru ngeh kalau ternyata pada dasarnya cerita wayang itu berasal dari dua epos, yaitu Ramayana dan Baratayudha. Jadi tokoh2 dalam kedua epos tersebut nggak mungkin saling ketemu. Misalkan, tokoh Rama—dari epos Ramayana—nggak mungkin dong terlibat adegan dengan Arjuna—dari epos Baratayudha. Sampai segitu parahnya ya pengetahuan Ibu, huahaha...
Udane menggelar wayang oleh2 Bapak :)Udane lagi ndalang... Uka mainin Gatotkaca dan Rahwana, Ene mainin Semar dan Hanoman. Memangnya ada ya lakon wayang dimana tokoh2 tersebut ketemu? Hehehe...