Memanusiakan Manusia
Posting kali ini agak panjang. Bukan tentang Udane tapi tentang keprihatinan Ibu terhadap aksi KEKERASAN yang dilakukan sekelompok orang terhadap kelompok lain yang notabene dengan alasan menegakkan KEBENARAN! How come? KEBENARAN... KEKERASAN... rasanya bukan hal yang patut dipersandingkan! Apakah kebenaran harus ditegakkan dengan kekerasan? Dan tentang kebenaran? Siapa yang berhak mengklaim kebenaran? Bukankan kebenaran yang hakiki hanyalah milik Allah swt?
Pagi ini Ibu baca berita di Kompas Cyber Media (KCM) dengan judul Pemerintah Didesak Tindak Penyerang Kelompok Ahmadiyah yang memberitakan bahwa sejumlah tokoh agama dan tokoh nasional mendeklarasikan Petisi Bersama Warga Negara Indonesia. Butir2 petisi tersebut, antara lain:
Setelah membaca berita ini, Ibu menjelajah ke situs web Gus Dur dan menemukan tulisan yang menyejukkan dari K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) terkait hal di atas. Beliau ini salah satu tokoh yang Ibu kagumi karena pemikiran dan pandangannya. Beliau bukan hanya seorang kiai, tapi juga seorang penulis esei, kolom, puisi, dan cerpen. Selain itu, beliau juga seorang pelukis. O ya tambahan info, beliau juga mertua dari Ulil Abshar Abdhalla.
Berikut kutipan lengkap tulisan beliau yang pernah dimuat di harian Jawa Pos, 4 Agustus 2005, dengan tajuk "Keyakinan":
Salah satu hak manusia paling asasi adalah keyakinan. Kita bisa mengajak orang untuk meyakini apa yang kita yakini, tapi tak bisa memaksakannya. Nabi Ibrahim as dengan segala kebijaksanaannya tidak bisa membuat ayahnya sendiri meyakini keyakinannya, meski keyakinannya itu benar.
Nabi Luth as dengan segala kesantunannya tak mampu membuat istrinya mengimani apa yang diimaninya, meski keyakinannya tersebut benar. Demikian pula, Nabi Nuh dengan segala kewibawaannya tak dapat membuat istri serta anaknya beriman.
Sebaliknya, Firaun dengan segala kekuasaan dan keganasannya tak mampu memaksakan kepercayaannya kepada Asiya, istrinya. (Lihat contoh yang diberikan Allah dalam Q 66: 10-11).
Mau contoh lagi?
Nabi Muhammad SAW dengan segala kearifan, kesantunan, kewibawaan, keamanahan, kefasihan, dan kasih sayangnya tak mampu membuat pamannya beriman. Bahkan, paman yang sekaligus tetangga dekat dan pernah berbesanan dua anak (’Utbah Ibn Abdul ’Uzza Ibn Abdul Muthalib atau yang terkenal dengan Abu Lahab pernah menjadi suami Ruqayyah, putri Nabi Muhammad, dan anaknya yang lain, ’Utaibah, menjadi suami putri Rasulullah lainnya, Ummi Kultsum. Keduanya menceraikan istri-istrinya atas perintah Abu Lahab) sangat memusuhi Nabi.
Ketika Nabi Muhammad SAW seperti hendak "memaksa" karena -dan dengan- kasih sayangnya yang agung, Allah yang mengutusnya justru memperingatkan: "Innaka laa tahdii man ahbabta, walaakinalLaha yahdii man yasyaa…" Sungguh engkau tidak akan dapat memberi hidayah (membuat iman) orang yang engkau sayangi (sekalipun); tapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Ia kehendaki (Q 28: 56).
Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Kita hanya bisa mengajak orang meyakini kebenaran yang kita yakini benar. Tapi, apakah orang yang kita ajak tersebut terajak atau tidak, itu bukanlah di tangan kita. Apabila dengan kasih sayang saja Rasulullah SAW tidak mampu "memaksakan" keyakinan kebenaran, bahkan kepada orang yang paling dekat, apalagi pemaksaan dengan kebencian.
Sebagai orang Islam, saya wajib mengajak orang untuk meyakini kebenaran Islam. Mengajak ke jalan Tuhan Yang Mahaesa. Dan, Allah telah memberi arahan cara mengajak ke jalan-Nya. Yaitu, dengan hikmah, dengan bijaksana, dan nasihat yang baik. Bila perlu berbantahan, berbantah dengan cara yang lebih baik.
Tuhan lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya. Apabila disakiti, membalas pun harus sama, tidak berlebih. Namun, apabila bersabar, justru lebih baik. (Baca Q. 16: 125-126)
Saya tidak mungkin bisa mengajak dengan bijaksana apabila saya mengedepankan nafsu saya. Saya harus berpikir cermat agar ajakan saya tidak justru membuat orang lari dari jalan Allah. Satu dan lain hal, karena orang tidak hanya mendengarkan tuturan saya, melainkan lebih melihat kelakuan saya. Meski ajakan saya secara lisan benar dan baik, apabila perilaku saya tidak mendukung, apalagi berlawanan dengan ajakan saya itu, tentu malah cemoohan yang akan saya dapatkan.
Saya meyakini agama saya adalah agama yang benar, agama yang penuh kasih sayang, rahmatan lil ’aalamiin. Tapi, saya tidak cukup hanya menggembar-gemborkan hal itu ke sana ke mari, sedangkan perilaku saya justru tidak mencerminkan kebenaran, tidak mencerminkan kasih sayang sebagaimana yang dicontohkan pemimpin agung saya, Nabi Muhammad SAW.
Karena rahmat Allah, Nabi Muhammad SAW berperilaku lemah lembut kepada orang. Seandainya beliau kaku dan kasar budi, firman Allah, pastilah orang-orang akan lari menjauhi beliau (baca Q 3: 159). Dan, otomatis Islam pun akan dijauhi.
Syukurlah, Rasulullah SAW, seperti dicatat sejarah, adalah pribadi teladan yang benar-benar lemah lembut, penuh kasih sayang, pemurah, dan penuh perhatian. Beliau tidak hanya menebar cahaya kebenaran, tapi juga menabur kasih sayang dan menyebar kedamaian. Kehadiran beliau benar-benar rahmatan lil ’aalamiin.
Bagi orang Islam, terutama yang ingin mengajak ke jalan Allah dan memuliakan agama-Nya, tidak ada yang lebih baik daripada mengikuti jejak dan contoh Nabi Muhammad SAW. Dan, mengikuti jejak serta mencontoh Nabi Muhammad SAW kiranya tidak terlalu sulit bagi mereka yang benar-benar manusia, yang mengerti manusia, dan yang memanusiakan manusia. Sebab, Rasulullah SAW adalah manusia yang paling manusia, yang amat paham manusia, dan sangat memanusiakan manusia.
Karena itu, seandainya pun -dalam menegakkan kebenaran- beliau pernah membenci manusia yang tidak benar, tidak pernah kebenciannya membawanya untuk berlaku tidak adil sesuai firman Tuhan yang mengutusnya. ("Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil…" Q 5: 8)
Saya membayangkan, beliau pasti bersedih jika melihat umatnya yang mengaku sangat mencintainya -dan dengan dalih membelanya- melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali tidak pernah beliau ajarkan serta contohkan. Apalagi bila hal itu bisa mencoreng kemuliaan agamanya.
[Cetak tebal dari Ibu]
Pagi ini Ibu baca berita di Kompas Cyber Media (KCM) dengan judul Pemerintah Didesak Tindak Penyerang Kelompok Ahmadiyah yang memberitakan bahwa sejumlah tokoh agama dan tokoh nasional mendeklarasikan Petisi Bersama Warga Negara Indonesia. Butir2 petisi tersebut, antara lain:
- Desakan terhadap Pemerintah agar menindak tegas pelaku penyerangan terhadap kelompok Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta menjamin kebebasan anggota kelompok itu menjalankan keyakinannya.
- Semua pihak harus menghormati Pancasila dan Konstitusi yang menjadi cermin kesepakatan antar warga negara.
- Fatwa MUI yang menyatakan aliran atau pemikiran tertentu adalah sesat, harus digugurkan.
Setelah membaca berita ini, Ibu menjelajah ke situs web Gus Dur dan menemukan tulisan yang menyejukkan dari K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) terkait hal di atas. Beliau ini salah satu tokoh yang Ibu kagumi karena pemikiran dan pandangannya. Beliau bukan hanya seorang kiai, tapi juga seorang penulis esei, kolom, puisi, dan cerpen. Selain itu, beliau juga seorang pelukis. O ya tambahan info, beliau juga mertua dari Ulil Abshar Abdhalla.
Berikut kutipan lengkap tulisan beliau yang pernah dimuat di harian Jawa Pos, 4 Agustus 2005, dengan tajuk "Keyakinan":
Salah satu hak manusia paling asasi adalah keyakinan. Kita bisa mengajak orang untuk meyakini apa yang kita yakini, tapi tak bisa memaksakannya. Nabi Ibrahim as dengan segala kebijaksanaannya tidak bisa membuat ayahnya sendiri meyakini keyakinannya, meski keyakinannya itu benar.
Nabi Luth as dengan segala kesantunannya tak mampu membuat istrinya mengimani apa yang diimaninya, meski keyakinannya tersebut benar. Demikian pula, Nabi Nuh dengan segala kewibawaannya tak dapat membuat istri serta anaknya beriman.
Sebaliknya, Firaun dengan segala kekuasaan dan keganasannya tak mampu memaksakan kepercayaannya kepada Asiya, istrinya. (Lihat contoh yang diberikan Allah dalam Q 66: 10-11).
Mau contoh lagi?
Nabi Muhammad SAW dengan segala kearifan, kesantunan, kewibawaan, keamanahan, kefasihan, dan kasih sayangnya tak mampu membuat pamannya beriman. Bahkan, paman yang sekaligus tetangga dekat dan pernah berbesanan dua anak (’Utbah Ibn Abdul ’Uzza Ibn Abdul Muthalib atau yang terkenal dengan Abu Lahab pernah menjadi suami Ruqayyah, putri Nabi Muhammad, dan anaknya yang lain, ’Utaibah, menjadi suami putri Rasulullah lainnya, Ummi Kultsum. Keduanya menceraikan istri-istrinya atas perintah Abu Lahab) sangat memusuhi Nabi.
Ketika Nabi Muhammad SAW seperti hendak "memaksa" karena -dan dengan- kasih sayangnya yang agung, Allah yang mengutusnya justru memperingatkan: "Innaka laa tahdii man ahbabta, walaakinalLaha yahdii man yasyaa…" Sungguh engkau tidak akan dapat memberi hidayah (membuat iman) orang yang engkau sayangi (sekalipun); tapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Ia kehendaki (Q 28: 56).
Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Kita hanya bisa mengajak orang meyakini kebenaran yang kita yakini benar. Tapi, apakah orang yang kita ajak tersebut terajak atau tidak, itu bukanlah di tangan kita. Apabila dengan kasih sayang saja Rasulullah SAW tidak mampu "memaksakan" keyakinan kebenaran, bahkan kepada orang yang paling dekat, apalagi pemaksaan dengan kebencian.
Sebagai orang Islam, saya wajib mengajak orang untuk meyakini kebenaran Islam. Mengajak ke jalan Tuhan Yang Mahaesa. Dan, Allah telah memberi arahan cara mengajak ke jalan-Nya. Yaitu, dengan hikmah, dengan bijaksana, dan nasihat yang baik. Bila perlu berbantahan, berbantah dengan cara yang lebih baik.
Tuhan lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya. Apabila disakiti, membalas pun harus sama, tidak berlebih. Namun, apabila bersabar, justru lebih baik. (Baca Q. 16: 125-126)
Saya tidak mungkin bisa mengajak dengan bijaksana apabila saya mengedepankan nafsu saya. Saya harus berpikir cermat agar ajakan saya tidak justru membuat orang lari dari jalan Allah. Satu dan lain hal, karena orang tidak hanya mendengarkan tuturan saya, melainkan lebih melihat kelakuan saya. Meski ajakan saya secara lisan benar dan baik, apabila perilaku saya tidak mendukung, apalagi berlawanan dengan ajakan saya itu, tentu malah cemoohan yang akan saya dapatkan.
Saya meyakini agama saya adalah agama yang benar, agama yang penuh kasih sayang, rahmatan lil ’aalamiin. Tapi, saya tidak cukup hanya menggembar-gemborkan hal itu ke sana ke mari, sedangkan perilaku saya justru tidak mencerminkan kebenaran, tidak mencerminkan kasih sayang sebagaimana yang dicontohkan pemimpin agung saya, Nabi Muhammad SAW.
Karena rahmat Allah, Nabi Muhammad SAW berperilaku lemah lembut kepada orang. Seandainya beliau kaku dan kasar budi, firman Allah, pastilah orang-orang akan lari menjauhi beliau (baca Q 3: 159). Dan, otomatis Islam pun akan dijauhi.
Syukurlah, Rasulullah SAW, seperti dicatat sejarah, adalah pribadi teladan yang benar-benar lemah lembut, penuh kasih sayang, pemurah, dan penuh perhatian. Beliau tidak hanya menebar cahaya kebenaran, tapi juga menabur kasih sayang dan menyebar kedamaian. Kehadiran beliau benar-benar rahmatan lil ’aalamiin.
Bagi orang Islam, terutama yang ingin mengajak ke jalan Allah dan memuliakan agama-Nya, tidak ada yang lebih baik daripada mengikuti jejak dan contoh Nabi Muhammad SAW. Dan, mengikuti jejak serta mencontoh Nabi Muhammad SAW kiranya tidak terlalu sulit bagi mereka yang benar-benar manusia, yang mengerti manusia, dan yang memanusiakan manusia. Sebab, Rasulullah SAW adalah manusia yang paling manusia, yang amat paham manusia, dan sangat memanusiakan manusia.
Karena itu, seandainya pun -dalam menegakkan kebenaran- beliau pernah membenci manusia yang tidak benar, tidak pernah kebenciannya membawanya untuk berlaku tidak adil sesuai firman Tuhan yang mengutusnya. ("Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil…" Q 5: 8)
Saya membayangkan, beliau pasti bersedih jika melihat umatnya yang mengaku sangat mencintainya -dan dengan dalih membelanya- melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali tidak pernah beliau ajarkan serta contohkan. Apalagi bila hal itu bisa mencoreng kemuliaan agamanya.
[Cetak tebal dari Ibu]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home