Tuesday, November 22, 2005

Wonosobo vs Surabaya

Wonosobo dan Surabaya, dua lokasi mudik kami, adalah dua kota dengan karakteristik yang berbeda 180 derajat. Wonosobo adalah kota pegunungan—Barangkali ada yang lupa atau memang belum tahu, daerah wisata Dieng terletak di Kabupaten Wonosobo. Sayangnya, meski hampir tiap tahun Ibu mudik ke Wonosobo, belum sekalipun Ibu berkesempatan ke Dieng :((—sementara Surabaya boleh dibilang merupakan kota pantai karena letaknya di pesisir utara Pulau Jawa—Masih ingat pelajaran IPS di masa SD kan? Bahwa Surabaya punya pelabuhan yang namanya Tanjung Perak? :D.

Perbedaan lokasi yang mencolok tersebut, sudah jelas berakibat pada iklim dan cuaca yang berbeda. Wonosobo dingin, Surabaya panas. Hal ini berakibat lebih lanjut pada beberapa aktivitas keseharian. Masih ingat kan cerita (lihat satu entry sebelum ini) tentang berburu diaper untuk Ene di Wonosobo gara2 celana Ene nggak kering2 setelah dicuci? Nah, kalo di Surabaya, tidak perlu khawatir hal tersebut bakal terjadi. Baju2 yang dicuci pagi hari (kira2 jam 8), sudah tersetrika rapi siang harinya (kira2 jam 12)!!! Saking panasnya Surabaya, cuma memerlukan waktu beberapa jam untuk mengeringkan jemuran!

Sedangkan soal tersetrika rapi, ini juga kontradiksi Wonosobo dan Surabaya, tapi sama sekali nggak terkait dengan iklim dan cuaca. Di Wonosobo, mode yang terpasang adalah "do it yourself", sementara kalo di Surabaya mode yang terpasang adalah "everything's ready" :). Dalam artian, di Wonosobo Ibu mencuci dan menyetrika sendiri, sementara di Surabaya nyuci pake mesin cuci—Itu pun Yang Nuk yang ngerjain :D—dan Yang Nuk juga yang nyetrika! Haha... Maklum aja, di Wonosobo nggak ada pembantu, sedangkan di Surabaya ada Mak (keponakan Ibu dari Nganjuk) dan kedua anaknya Aris dan Tri, jadi Yang Nuk banyak yang membantu.

Kontradiksi lain adalah soal mandi. Di Wonosobo, Ibu cukup mandi sehari sekali karena dingin (Ah alasan! Dasar malas! Hehe..). Benernya sih Mbah Hardjo putri selalu masak air untuk siapa aja yang mau mandi, tapi tentunya Ibu prioritaskan untuk Udane dulu. Nah.. ketika giliran Ibu mau mandi, harus masak air lagi. Karena nggak sabar nunggu masak air dulu (apalagi kalo buru2 mau pergi), Ibu (terpaksa) memilih mandi air dingin, brrrrr!!! Itupun mandinya agak siangan biar nggak terlalu dingin :) dan sorenya cukup cuci muka, tangan dan kaki hehe...

Di Surabaya, Ibu mandi normal dua kali sehari. Itupun bawaannya pengin mandi mulu saking gerahnya! Lucunya, di Surabaya justru Ibu selalu mandi pakai air hangat!!! Ini gara2 Pakpuh Tri (kakak sulung Ibu) memasang water heater di kamar mandi Yang Nuk sejak beberapa waktu lalu. Dan setiap kali Ibu mau mandi, kebetulan water heaternya baru saja dinyalakan, jadi Ibu nggak pernah berkesempatan mandi air dingin! Mau nunggu airnya dingin dulu kok ya lama lagi, jadilah mandi pakai air hangat. Seharusnya water heater ini dimutasikan ke Wonosobo hahaha...!!!

Selain dalam hal iklim dan cuaca, Wonosobo dan Surabaya juga berbeda dalam hal geliat kota. Surabaya is the second biggest city in Indonesia, jadi hiruk pikuk kotanya nggak jauh beda dengan Jakarta. Kemacetan lalu lintasnya pun sekarang ini menyamai Jakarta, padahal ketika Ibu masih berdomisili di Surabaya (dari lahir sampai akhir tahun 1992), kemacetan hanya terjadi di area CBD (Central Business District) di Jl. Basuki Rahmat dan sekitarnya. Tapi sekarang ini, jalan di belakang rumah Yang Nuk pun, Jl. Kertoarjo, yang di masa Ibu kecil masih berupa sawah, ikut2an macet!

Wonosobo, meski memiliki satu hotel berbintang 4, Hotel Kresna, tetap berciri khas kota kabupaten yang adem, ayem, tenang, dan tentram. Memang di area CBD-nya macet juga, tapi itu karena lebaran. Hari2 biasa arus lalu lintas Wonosobo masih tergolong normal. Selain itu, di Wonosobo masih bisa ditemukan hal2 khas yang sama sekali berbeda dengan Surabaya. Contohnya, di sekeliling alun2 kota Wonosobo, Ibu masih menemukan pohon2 beringin besar yang umurnya barangkali sudah ratusan tahun. Transportasi kotanya, selain ada angkot juga ada delman yang jumlahnya lumayan banyak. Selain itu, di Wonosobo (khususnya di sekitar rumah Mbah Hardjo) Ibu dan Udane masih bisa melihat sawah, kebun salak pondoh, tambak ikan, dan sungai.

Ngomongin sungai, di Surabaya pun ada sungai di depan rumah Yang Nuk. Semasa Ibu kecil, sungai ini cukup dalam, berair jernih, dan arusnya lumayan deras. Saking dalam dan lumayan derasnya, pernah ketika kecil (kira2 seumur Uka sekarang) Ibu kecebur di sungai itu di salah satu sisi jembatan, terbawa arus, dan nongol lagi di sisi jembatan yang lain hahaha...! Ceritanya waktu itu Ibu main perahu layar yang terbuat dari daun, niatnya daun tersebut hendak diluncurkan di salah satu sisi jembatan dan ditangkap lagi di sisi jembatan yang lain. Nah.. waktu mau naruh daun itu di permukaan air Ibu harus nungging, rupanya nunggingnya kebablasan! Jadi bukan cuma daunnya yang terbawa arus, tapi juga Ibu hehe... Sekarang sungai ini sudah semakin dangkal, sempit, dan kadang2 berbau. Karena itu, ketika ke sawah dan sungai di Wonosobo, Ibu seperti mengenang kembali masa kecil Ibu. Kembalikan Surabaya-ku padaku!

Beda lain lagi terlihat pada area pemakamannya. Di Surabaya, pemakaman umum (khususnya tempat Yang Gik disemayamkan) seperti kompleks perumahan kedua—Memang iya sih itu 'rumah masa depan' kita, hehe..—yang dibangun megah dan cantik. Untuk perawatannya, diserahkan kepada salah satu penduduk di sekitar situ yang dibayar rutin. Di Manggis, kompleks pemakaman keluarga Bapak sangat sederhana. Perawatannya pun cukup dilakukan oleh keluarga sendiri.


Kiri: Pemakaman di Surabaya. Kanan: Pemakaman di Manggis.

Begitulah, Bapak dari Wonosobo, Ibu dari Surabaya, bertemu di Cilegon. Jadi teringat kata pepatah, "Asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam belanga". So what gitu loch! Hahaha...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home