Dini Hari ke UGD
Mungkin akibat kecapekan berkegiatan saat weekend dan tertular Uka yang baru saja kena radang tenggorokan, hari Senin pagi 13 Juni 2005 Ene panas. Awalnya Ibu kira badannya hangat karena bangun tidur, jadi pagi itu Ibu mandiin Ene seperti biasa sebelum berangkat kerja :( Masih untung mandinya pakai air hangat—kata orang, dalam kondisi seburuk apapun orang Jawa itu selalu bilang untung, itu yang namanya positive thinking :). Tapi setelah mandi kok Ene rewel dan nggak mau jalan2 pagi dengan si Mbak seperti biasa. Setelah Ibu pegang2 lagi tubuhnya baru Ibu menyadari bahwa badan Ene sedikit panas. Ibu lantas memberi Ene obat turun panas, dan setelah Ene bisa ditinggal, Ibu berangkat kerja.
Ternyata ketika Ibu pulang kantor, badan Ene semakin panas sampai 38.9oC padahal obat turun panas rutin diberikan setiap 4 jam! Biasanya jika panas, Ene segera turun suhu badannya setelah minum obat. Seiring dengan itu nafsu makan Ene juga turun dan sempat mau muntah. Semula Ibu berencana membawa Ene ke dokter hari Selasa malam di klinik luar—bukan RS Krakatau Medika yang ditanggung perusahaan—dengan pertimbangan antrinya tidak terlalu panjang. Tapi karena sepanjang Senin itu panas badan Ene tidak ada tanda2 berkurang, akhirnya Selasa dini hari sekitar jam 2, Ibu membawa Ene ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS Krakatau Medika ditemani si Mbak, sementara Uka yang masih pulas ditinggal di rumah dengan Yuk.
Sampai di UGD, Ibu sempat jatuh terduduk di beton batas taman saat mengangkat Ene dari mobil—Ene nggak mau digendong si Mbak—mungkin karena Ibu kecapekan, juga kurang hati2. Untung—yang kedua kali—Ene nggak pa2. Ene diterima perawat dan diukur suhu badannya, masih cukup tinggi 38.7oC. Saat itu dokter jaga sedang ke ICU nengok pasien. Agak lama nunggu baru dokternya datang. Sambil memeriksa dada Ene dengan stetoskop, dokter tersebut mengatakan ada kemungkinan Ene tertular Uka—tentunya setelah Ibu menjelaskan bahwa sebelumnya kakaknya sakit radang tenggorokan. Tapi setelah dada Ene diperiksa dengan stetoskop, dokter tersebut tidak mengatakan apa2 dan langsung menulis resep: obat turun panas, antibiotik, dan obat anti mual. Kalau memang Ene dicurigai kena radang tenggorokan seperti halnya Uka, yang Ibu heran kok justru tenggorokan Ene nggak diperiksa ya? Maksudnya, Ene nggak disuruh buka mulut sama Bu Dokter. Bukankah tanda fisik radang tenggorokan bisa langsung dilihat di tenggorokan Ene? Setidaknya itu yang Ibu tau sebagai orang yang awam dalam hal medis. Jadi penyebab Ene panas sama sekali blank!!! Salah Ibu juga sih, nggak nanya diagnosa dokter secara jelas, sementara kecenderungan banyak dokter—at least di Indonesia—adalah pelit informasi! Jadi kalau pasien nggak cerewet nanya ya nggak bakal tau penyakitnya apa. Pokoknya tau2 dapat resep aja! Biasanya Ibu cukup cerewet minta penjelasan ke dokter, tapi karena malam itu Ibu very exhausted, jadi nggak banyak nanya.
Dari UGD seharusnya Ibu langsung meluncur ke apotik di tempat lain—bukan di RS Krakatau Medika yang apotiknya tidak buka 24 jam—untuk menebus resep, tapi karena Ene nangis nggak mau duduk dengan si Mbak di kursi belakang mobil, maunya dipangku Ibu, akhirnya Ibu memutuskan pulang dulu dan ke apotiknya naik taxi. Untung—yang ketiga kali—di Cilegon sudah ada taxi Pusaka Banten dari Blue Bird Group. Tentu saja Ene ikut Ibu lagi ke apotik karena dia sama sekali nggak mau lepas dari gendongan Ibu. Sepulang dari apotik, obat turun panas langsung Ibu berikan ke Ene, sementara obat yang lain menunggu perkembangan dulu.
Singkat cerita, setelah minum obat turun panas resep dari dokter, suhu badan Ene mulai normal, tapi masih nggak mau makan (muntah terus) dan nggak mau minum susu botol, satu2nya yang masuk ke perut Ene adalah ASI. Untung—yang keempat kali—Ene masih mendapat ASI. Ibu akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti kerja selama tiga hari dari Selasa sampai Kamis supaya bisa menunggu Ene recovery, sekalian Ibu juga istirahat agar nggak jatuh sakit juga, berabe kan?! Alhamdulillah, Ene sekarang sudah sehat dan ceria lagi as usual.
O ya, selama Ene sakit itu Ibu selalu sms-an dengan Bapak untuk mendapatkan support. Untung—yang kelima kali—teknologi sms sudah berkembang pesat. Hal yang paling berat jauh dari Bapak memang ketika Udane sakit. Saat Uka panas minggu lalu, Bapak bisa mempercepat kepulangannya ke Cilegon karena saat itu menjelang weekend. Tapi ketika Ene sakit hal tersebut nggak mungkin dilakukan karena Bapak baru saja tiba di Jogja Senin pagi. Apalagi Bapak juga lagi sibuk2nya menjaga mahasiswa yang sedang ujian, maklum akhir semester. Tapi via sms2nya dan telpon2nya setiap malam, Bapak selalu hadir di antara Ibu dan Udane untuk memberikan dukungan. Coba simak salah satu sms Bapak yang bikin air mata Ibu runtuh: "Mom, sorry ya aku semalam—maksudnya pas ke UGD—nggak nemanin. I'm really sorry". Menyentuh kan?! Eh, ketika lagi nulis entry ini Ibu dapat sms dari Bapak, isinya Bapak akan pulang ke Cilegon Jumat malam ini. Horeee... Bapak pulang!!!
Terima kasih Tuhan, Kau selalu mendampingi kami dan memberi kekuatan pada kami sekeluarga dalam melewati masa2 sulit. Amin.
Ternyata ketika Ibu pulang kantor, badan Ene semakin panas sampai 38.9oC padahal obat turun panas rutin diberikan setiap 4 jam! Biasanya jika panas, Ene segera turun suhu badannya setelah minum obat. Seiring dengan itu nafsu makan Ene juga turun dan sempat mau muntah. Semula Ibu berencana membawa Ene ke dokter hari Selasa malam di klinik luar—bukan RS Krakatau Medika yang ditanggung perusahaan—dengan pertimbangan antrinya tidak terlalu panjang. Tapi karena sepanjang Senin itu panas badan Ene tidak ada tanda2 berkurang, akhirnya Selasa dini hari sekitar jam 2, Ibu membawa Ene ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS Krakatau Medika ditemani si Mbak, sementara Uka yang masih pulas ditinggal di rumah dengan Yuk.
Sampai di UGD, Ibu sempat jatuh terduduk di beton batas taman saat mengangkat Ene dari mobil—Ene nggak mau digendong si Mbak—mungkin karena Ibu kecapekan, juga kurang hati2. Untung—yang kedua kali—Ene nggak pa2. Ene diterima perawat dan diukur suhu badannya, masih cukup tinggi 38.7oC. Saat itu dokter jaga sedang ke ICU nengok pasien. Agak lama nunggu baru dokternya datang. Sambil memeriksa dada Ene dengan stetoskop, dokter tersebut mengatakan ada kemungkinan Ene tertular Uka—tentunya setelah Ibu menjelaskan bahwa sebelumnya kakaknya sakit radang tenggorokan. Tapi setelah dada Ene diperiksa dengan stetoskop, dokter tersebut tidak mengatakan apa2 dan langsung menulis resep: obat turun panas, antibiotik, dan obat anti mual. Kalau memang Ene dicurigai kena radang tenggorokan seperti halnya Uka, yang Ibu heran kok justru tenggorokan Ene nggak diperiksa ya? Maksudnya, Ene nggak disuruh buka mulut sama Bu Dokter. Bukankah tanda fisik radang tenggorokan bisa langsung dilihat di tenggorokan Ene? Setidaknya itu yang Ibu tau sebagai orang yang awam dalam hal medis. Jadi penyebab Ene panas sama sekali blank!!! Salah Ibu juga sih, nggak nanya diagnosa dokter secara jelas, sementara kecenderungan banyak dokter—at least di Indonesia—adalah pelit informasi! Jadi kalau pasien nggak cerewet nanya ya nggak bakal tau penyakitnya apa. Pokoknya tau2 dapat resep aja! Biasanya Ibu cukup cerewet minta penjelasan ke dokter, tapi karena malam itu Ibu very exhausted, jadi nggak banyak nanya.
Dari UGD seharusnya Ibu langsung meluncur ke apotik di tempat lain—bukan di RS Krakatau Medika yang apotiknya tidak buka 24 jam—untuk menebus resep, tapi karena Ene nangis nggak mau duduk dengan si Mbak di kursi belakang mobil, maunya dipangku Ibu, akhirnya Ibu memutuskan pulang dulu dan ke apotiknya naik taxi. Untung—yang ketiga kali—di Cilegon sudah ada taxi Pusaka Banten dari Blue Bird Group. Tentu saja Ene ikut Ibu lagi ke apotik karena dia sama sekali nggak mau lepas dari gendongan Ibu. Sepulang dari apotik, obat turun panas langsung Ibu berikan ke Ene, sementara obat yang lain menunggu perkembangan dulu.
Singkat cerita, setelah minum obat turun panas resep dari dokter, suhu badan Ene mulai normal, tapi masih nggak mau makan (muntah terus) dan nggak mau minum susu botol, satu2nya yang masuk ke perut Ene adalah ASI. Untung—yang keempat kali—Ene masih mendapat ASI. Ibu akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti kerja selama tiga hari dari Selasa sampai Kamis supaya bisa menunggu Ene recovery, sekalian Ibu juga istirahat agar nggak jatuh sakit juga, berabe kan?! Alhamdulillah, Ene sekarang sudah sehat dan ceria lagi as usual.
O ya, selama Ene sakit itu Ibu selalu sms-an dengan Bapak untuk mendapatkan support. Untung—yang kelima kali—teknologi sms sudah berkembang pesat. Hal yang paling berat jauh dari Bapak memang ketika Udane sakit. Saat Uka panas minggu lalu, Bapak bisa mempercepat kepulangannya ke Cilegon karena saat itu menjelang weekend. Tapi ketika Ene sakit hal tersebut nggak mungkin dilakukan karena Bapak baru saja tiba di Jogja Senin pagi. Apalagi Bapak juga lagi sibuk2nya menjaga mahasiswa yang sedang ujian, maklum akhir semester. Tapi via sms2nya dan telpon2nya setiap malam, Bapak selalu hadir di antara Ibu dan Udane untuk memberikan dukungan. Coba simak salah satu sms Bapak yang bikin air mata Ibu runtuh: "Mom, sorry ya aku semalam—maksudnya pas ke UGD—nggak nemanin. I'm really sorry". Menyentuh kan?! Eh, ketika lagi nulis entry ini Ibu dapat sms dari Bapak, isinya Bapak akan pulang ke Cilegon Jumat malam ini. Horeee... Bapak pulang!!!
Terima kasih Tuhan, Kau selalu mendampingi kami dan memberi kekuatan pada kami sekeluarga dalam melewati masa2 sulit. Amin.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home