Friday, November 25, 2005

Mancing di Manggis

Benernya entry tentang mancing di Manggis-Wonosobo (tempat kelahiran Bapak) ini pengin Ibu tulis just right after entry Jurnal Mudik, tapi dengan pertimbangan entry ini banyak fotonya—Kata orang, gambar berbicara lebih banyak dari kata2 :)—sama seperti entry Jurnal Mudik, jadi Ibu tunda supaya pas buka blog ini ga terlalu berat. Jadi langsung aja Ibu bercerita lewat gambar ya :D


Berangkat mancing 2 hari sebelum lebaran (01/11/05), masih fresh meski puasa! Ada 3 newcomers: Ibu (bawa ransel), Ene (bercelana biru) dan Salma (di belakang Ene). Sedangkan peserta tahun sebelumnya (2004): Bulik Wur (berkerudung biru), Bulik Ning (berkaos putih), Uka (bercelana merah), dan Bapak (yang motret). Perbekalan yang dibawa: alat pancing 2 buah, nasi untuk umpan (bukan untuk bekal yang mancing lo, hehe...), ember dan kantung2 plastik untuk wadah ikan yang dipancing, pakaian ganti untuk para kurcaci, dan nggak lupa makanan dan minuman untuk para kurcaci! Yang terakhir ini paling penting karena nggak ada warung di sekitar lokasi mancing! :D


Bapak dan Bulik Wur mancing, sementara para kurcaci ngobok2 ikan di ember hasil pancingan. Mancingnya bukan di sungai, tapi di tambak kepunyaan Mbah Hardjo. Secara rutin Mbah Hardjo menebar benih ikan ke dalamnya, jadi kalo mancing di situ sudah pasti dapat ikan! Hahaha... Tapi meski demikian, ketika Ibu mencoba mancing eh.. nggak dapet2!! Kalah ama Uka! Dasar nggak sabaran hehe... Makanya Ibu milih jadi sie dokumentasi aja, jepret sana jepret sini :)


Bapak nangkap kepiting air tawar (bahasa Jawa: yuyu) dan menunjukkannya ke Uka. Sementara Salma dan Ene asyik dengan aktivitas masing2.


Ene pengin ikutan megang ikan seperti Uka dan Salma, jadi Uka nunjukin ke Ene cara megang ikan. Setelah ngerasain asyiknya megang ikan, Ene maunya semua ikan buat dia. Jadinya bertiga berebut ikan sambil teriak2, nggak ada yang mau ngalah! Ribut pokoknya! Untung bawa kantung2 plastik, jadi akhirnya sama Bapak Ene dikasih ikan di kantong plastik tersendiri :)


Area di sebelah kiri sampai ke ujung kiri atas, di depan Bulik Wur dan Bulik Ning yang lagi mancing, adalah tambak ikan Mbah Hardjo yang tertutup oleh tanaman air. Kata Bapak, ketika tahun lalu mancing, tambaknya tidak tertutup tanaman air seperti ini. Di latar belakang adalah kebun salak pondoh, tapi yang ini bukan milik Mbah Hardjo. Kebun salak pondoh Mbah Hardjo ada di lokasi lain. Sssstt... lihat tuh gaya Bapak.. Bossy ya! Hahaha... Bapak mancing cuma di awal2 aja, selanjutnya yang beneran mancing dan menghasilkan banyak ikan adalah para bulik hehe...


Yang di belakang Uka, Salma, dan Ene itu, yang seperti kolam air, juga tambak ikan, tapi punya orang lain. Ibu ngebayangin, kalo tambaknya Mbah Hardjo nggak tertutup tanaman air mestinya seperti itu tampilannya.


View di sekitar tambak ikan. Masih segar udaranya!


Ini tipikal kebun salak pondoh. Kalo orang dewasa mau jalan di antara pohon2 itu, mesti membungkuk. Buat yang belum tahu, buah salak terletak di bagian bawah pohon. Jadi kebayang kalo orang memanen salak harus mem-bungkuk2 terus! Belum lagi duri2nya yang tajam. Salah seorang saudara Bapak yang sering membantu Mbah Hardjo memanen salak pernah memperlihatkan telapak tangannya ke Ibu. Wah... di bawah kulit arinya terlihat banyak duri2 salak pondoh!! Tapi saking banyaknya, lama2 dia kebal. Kata dia paling2 digosok aja pakai balsam, beres! Padahal Ibu kalo tlusupen (kemasukan sesuatu di bawah kulit air) aja, duh.. rasanya ampun2 deh!


Yang membersihkan ikan cuma satu orang, Bulik Wur. Tapi yang nonton, hehehe.. banyak!!!.


Uka dalam perjalanan pulang. Jalan ini juga yang kami lalui saat berangkat. Sepintas mirip dengan jalan yang kami tempuh untuk menuju makam (lihat entry Jurnal Mudik), tapi jalan ke arah tambak ini selain lebih jauh, juga lebih terjal (turun-naik, turun saat berangkat dan naik saat pulang). Kadang ketemu jalan yang terang dan terbuka (foto kiri), kadang ketemu jalan yang tertutup oleh pohon2 dan gelap (foto kanan). Semasa Bapak kecil, Bapak sempat mengalami kalo mandi harus menyusuri jalan ini untuk sampai ke pancuran yang dipakai membersihkan ikan. Kalo sekolah pagi, berangkat mandinya jam 3 pagi!! Soalnya perjalanan ke sekolahnya juga juauuuhhh! Mana waktu itu kendaraan umum masih langka. Ibu salut deh dengan perjuangan Bapak untuk menempuh studinya! Bulik Wur dan Bulik Ning sudah tidak mengalami lagi masa2 ini karena fasilitas di lingkungan rumah Mbah Hardjo sudah relatif lebih baik.


Di jalan seperti ini nggak memungkinkan untuk bergandengan haha... Jalannya mesti satu-satu seperti orang baris. Sayangnya, ketika perjalanan pulang ini Salma nangis sepanjang perjalanan, sepertinya dia capek dan ngantuk. Dia minta digendong terus sama Bulik Wur, nggak mau digendong sama yang lain karena memang Bulik Wur itu ibu kedua buat Salma (Bulik Prie, ibunya Salma, lagi tugas ke Canada).


Kiri: Jalanan yang menanjak. Ene digendong Bapak, sementara Bulik Wur dan Salma tertinggal di belakang. Kanan: Sampai di belakang rumah Mbah Hardjo, Ene menguap! Hehe...


Rumah Mbah Hardjo, tampak belakang. Tembok di sebelah kanan adalah pagar pembatas halaman rumah Mbah Harwanto, adik Mbah Hardjo kakung, tempat dilaksanakannya pemotongan sapi pagi harinya (lihat entry Jurnal Mudik). Jadi acara pemotongan sapi bisa disaksikan dari dalam rumah Mbah Hardjo melalui jendela yang terbuka. Jendelanya model tempo dulu yang sudah jarang ditemui saat ini. Jendela tersebut memiliki daun dobel, yang satu membuka ke luar, yang lainnya membuka ke dalam. Yang ke luar terbuat dari kayu dengan celah2 angin, sementara yang ke dalam terbuat dari kaca dengan frame kayu.

3 Comments:

Post a Comment

<< Home